Selasa, 08 Juli 2014

-Cerita lima dan enam- (Part 2)



8 Juli 2014

 
Aku melihatmu termenung di barisan belakang. Hanya sesekali mencuri pandang karna takut kau tahu kalau aku sedang memerhatikanmu. Apa yang lagi kau rasa, mengapa kau jarang sekali tersenyum?. Apakah kau tak menyadari jika senyumanmu itu mampu membangkitkan semangatku?.
Hari ini kita mengenakan warna baju yang sama, semoga kali ini kau menyadarinya. Aku tak lagi berduka karna mulai jarang menemukanmu. Semakin kesini, aku semakin mengerti bahwa cinta tak harus memiliki. Aku tak lagi berharap kau akan di sisiku atau tidak. Yang jelas, aku hanya senang bertemu denganmu hari ini, saat ini dan detik ini. Aku tak mampu berbicara, maafkan aku. Tak pernah menegurmu barang sekalipun atau bahkan untuk tersenyum padamu, aku tak bisa. Aku terlalu malu untuk melakukan itu. Nyaliku tipis, keberanianku tak seperti anak-anak BEM yang mampu berbicara bahkan ketika di depan umum. Apalah aku ini, aku yang hanya mampu menuliskan segala perasaanku melalui tulisan. Saja.
Aku bahagia mendengar suaramu, tapi aku tak mampu menunjukkannya. Apalagi jarak kita terlampau jauh jadi hanya beberapa kali pula aku dapat dengan jelas mendengar suaramu. Aku ingat, ketika itu kau sedang mengarahkan anak-anak kecil yang lucu-lucu itu ke kelas dimana micro teaching akan berlangsung. Kala itu sedikit kudekatkan jarakku, tapi aku tahu kau pasti tak menyadarinya. Sengaja, supaya aku bisa lebih jelas mendengar suaramu. Aduh, apaan sih aku ini. Maluuuu.. :-]
Di kelas micro teaching tersebut, aku tak sekelompok denganmu. Untunglah, pikirku. Jika hal itu terjadi, entahlah aku mesti berbuat apa. Mungkin aku hanya diam membisu, tetiba membeku seperti es di kutub utara. Lebay.
Kelas kita berhadapan lagi. Sama seperti dulu saat perkuliahan berlangsung. Aku tak menduga selalu saja kelasku dan kelasmu jika tidak berhadapan pasti bersebelahan. Aku mencuri-curi pandang lagi, semoga saja kau tak melihatku. Aku melihatmu mengajar anak-anak itu. Kau begitu mengagumkan. Sekilas, kau juga melihatku lalu aku berpaling. Aku lebih takut membalas tatapanmu lantas mendapati mataku bertemu dengan matamu daripada mesti membuang muka dan bersikap tak acuh. Aku sudah biasa tidak banyak disukai orang dan dijauhi karna kejutekanku. Bagiku, begini lebih baik karna aku tak perlu bersusah payah dipandang baik oleh orang lain. Aku ya aku. Apa adanya sajalah.
                                                                        ***
Sesaat sebelum adzan maghrib, aku dapati kamu berdiam diri lagi. Bersandar di salah satu tiang masjid. Aku ingin tahu, apa sih yang lagi kau lamuni?. Mengapa sih kamu jarang tersenyum?! Aku berbalik arah dan bercengkrama dengan anak-anak mungil ini lagi. Ada yang menggelendot di pundakku dengan santai dan asyiknya, ada yang sibuk bertanya ini itu. Ada juga yang sedari tadi memintaku mengeluarkan telepon genggamku berniat meminjamnya dariku. Kubilang padanya “Nanti kalo kamu mainan handphone, Pak Ustadznya gak ada yang dengerin dong? Kan kasihan sudah ngomong capek-capek tapi tidak didengarkan.” Lalu ia melengos, pergi meninggalkanku. Sulitnya menasihati mereka. Padahal aku hanya ingin mereka mengerti tapi, mengapa membuat mereka memahami satu hal saja bukan main repotnya. Aku senang berada di tengah-tengah mereka tapi, mungkin aku yang belum terbiasa jadi masih begitu kaku dihadapan mereka.
Ketika Pak Ustadz belum selesai berceramah, ada dua anak yang memintaku untuk mengantarkan mereka ke kamar kecil. Minta ditemani buang air kecil. Mereka seketika menyeret kedua tanganku. Satu hal yang aku pikirkan saat itu, bagaimana jika kamu melihatku. Aduh, gawat! Aku tahu pada saat itu banyak peserta yang akan memerhatikanku. Aku berdiri tepat di depan orang banyak. Di depan para panitia, para peserta, para anak kecil dan… pastinya di depanmu. Entah apa yang terbesit di benakku, rasanya sedari tadi kamu juga memerhatikanku. Meskipun tak secara langsung aku melihatnya tapi, aku menyadarinya.
Aku kembali dengan menggandeng dua malaikat nan lucu ini. Mereka serasa merekatkan lem pelengket di telapak tanganku sehingga tangan mereka tak bisa lepas. Aku bak seorang ibu dengan dua anaknya sedang pergi bermain. Berjalan sambil mengayunkan kedua tangan dan kaki. Bernyanyi di tengah taman, bertiga dengan anak-anakku.
Ada perasaan malu yang hinggap di sanubariku. Aku bukan malu pada orang-orang yang melihatku. Tapi, yang baru saja aku bilang. Aku malu jika pada kenyataannya kamu yang memerhatikanku. Apa yang terlintas di benakmu ya? Bagaimana kau menanggapi tingkahku yang seperti ini? Ah, pasti memalukan sekali! Sengaja tak kuhiraukan kau lagi. Di saat begini, aku semakin tak mampu berbuat apa-apa. Paling-paling aku hanya bercanda tawa dengan anak-anak ini, mencoba mengesampingkan urusan perasaanku. Bagaimana ya? Mungkin aku memang berlebihan, tapi inilah yang sebenarnya sedang kurasa. Tidak dibuat-buat sedikitpun. Seperti anak yang baru menginjak remaja. Mudah jatuh cinta. Apabila bertemu dengan seseorang yang disuka, lantas tak keruan sikapnya. Pipi tiba-tiba jadi memerah sendiri. Malu-malu ingin mengatakan sesuatu. Bertingkah aneh seperti orang yang tak waras saja.
Aku masih saja seperti ini, dengan sikapku yang masih kekanak-kanakan ini. Aku telah mencoba menjaga sikapku, bukan hanya di depanmu. Tapi, lebih dari itu. Aku ingin belajar memosisikan diriku di hadapan orang lain. Aku mesti belajar bagaimana bersikap ketika berada di depan pejabat-pejabat tinggi atau kaum intelek. Aku juga mesti belajar menempatkan diri dengan baik jika sedang berada di tengah-tengah para pekerja industri/buruh, para pelajar, para orang tua, para penyandang cacat. Tukang sapu, cleaning service, anak kecil, orang pendiam, orang yang banyak bicara, orang yang suka marah-marah, orang yang baik hati dan bijaksana. Dan tentunya masih banyak lagi. Menempatkan diri di tengah orang-orang dengan banyak sekali perbedaan karakter, keseharian, kepribadian itulah yang menurutku paling sulit dilakukan dalam hubungan antar manusia. Salah-salah, kita bisa tidak konsisten dengan diri sendiri dan tak percaya diri alias berubah-ubah mengikuti jalannya arus. Arus kehidupan.
Alhasil, kita tak bisa menjadi kiri kita sendiri. Kita kehilangan jati diri yang sebenarnya. Seolah bunga mawar yang mengenali dirinya sebagai bunga lili. Ia tak tahu apa itu mawar, mengapa ia mesti menjadi mawar jika lili tersebut adalah dirinya. Ia kemudian berkaca, lalu ia ada dalam kebimbangan. Ia bertanya-tanya mengapa rupaku berbeda dengan lili-lili yang lain. Mengapa juga yang sepertiku ini, manusia justru memanggilnya mawar.
Kita memang tak bisa mengibaratkan tumbuhan sebagai manusia, seperti diri kita. Kita berupa beda kecuali anak yang terlahir kembar. Namun, sekembar atau semirip-miripnya satu orang dengan yang lain tak mungkin benar-benar mirip karna Tuhan menciptakan manusia dengan beraneka ragam dan pasti tak ada yang sama. Hanya saja, sangat mengenaskan jika hal tersebut harus terjadi dalam diri manusia. Sudah diciptakan berbeda secara rupa, secara fisik, sacara pikiran dan sifat masih saja ingin menjadi orang lain. Berlomba-lomba hingga benar-benar mirip dengan satu orang, lantas melupakan siapa ia sebenarnya.
                                                                        ***

Penjelasan sebelumnya yang begitu panjang dan keluar dari jalurnya. Padahal aku sedang mencoba bercerita tentangmu. Tapi, malah merembet ke persoalan lain. Ku kesampingkan hal diatas dan mencoba memerhatikanmu lagi.
Acara baksos pun berakhir. Berlanjut ke acara berikutnya yaitu mabid. Aku lupa apa kepanjangannya. Yang jelas kita akan berkegiatan di tengah malam, guna mencari ridho allah. Benar-benar bermuhasabah memohon ampunan kepada-nya. Akan ada ceramah, solat tahajud bersama dan lain-lainnya.
Kamu bersandar lagi pada salah satu tiang masjid. Dengan kaki bersila dan memangku tas kebanggaanmu. Dalam cahaya yang mulai redup, gulita bergelimpangan seperti hendak melenyapkanmu dari malam. Malam yang remang-remang tanpa sedikit lampu penerang, seperti lampu taman. Maksudku bukan tidak ada cahaya sama sekali tapi, menurutku di suasana gelap begini akan lebih baik jika ada lampu taman yang bulat dimana cahayanya benderang ke segala arah. Setidaknnya, aku dapat lebih jelas melihatmu.
Kamu terduduk lama di situ tanpa seorangpun yang mengganggumu. Satu hal yang membuat hatiku tak henti berdebar, kamu ada di tempat yang ‘pas’. Kamu menghadap ke arahku dan pandanganmu seolah menuju tepat di wajahku. Aku yang sedang berkumpul dengan teman-temanku. Aku tak mungkin membiarkan mataku bertemu dengan matamu, lagi. Itu akan membuatku lebih takut. Aku sengaja membelakangimu, membiarkanmu bertemu dengan punggungku. Betapa percaya dirinya aku sampai-sampai meyakini kamu sedang menatapku dari tadi, lama sekali, rasanya.
Aku ingat, waktu itu di lain kesempatan. Kalau tidak salah hari rabu atau kamis ya?. Aku sedikit lupa. Maaf, aku banyak lupanya. Aku tengah selesai pada mata kuliah grammar in discourse dan hendak menuju ke kelas berikutnya yaitu academic writing atau juga literary reading. Aku berjalan seperti biasanya dengan mata menerawang jauh ke depan. Penuh harap layaknya sang pujangga sedang mencari-cari kata apa lagi yang pas untuk di masukkan dalam syairnya. Aku berjalan dengan kedua tanganku hinggap di dalam kantung rokku. Lamban namun pasti. Dan ada satu hal yang tetiba mengejutkanku. Kamu, matamu. Kedua bolanya begitu membentuk bulatan rembulan yang sedang mendiami langit malam, menerangi bumi dengan sinarnya. Cahayanya megah ke segala penjuru. Kali ini penjuru hatiku. Bagaimana tidak. Mataku bertemu langsung dengan matamu saat itu. Rasanya, waktu seperti berhenti tidak lagi berputar. Membiarkan mata kita beradu dalam ruang yang tanpa sekat itu. Seandainya kau merasakan apa yang lagi aku rasa, apa yang sedang terjadi di dalam jantungku. Degupnya semakin kencang. Ya Tuhan…
                                                                        ***
Waktunya tak lagi sama. Kita hanya terkadang saja bertemu. Sebentar lagi kamu mulai menyusun skripsimu dan pergi jauh menggapai cita-citamu. Dan di hari ini, di malam acara kegiatan ini, itu sudah cukup bagiku untuk terus merasakan keberadaanmu. Diantara banyaknya hamba Allah SWT yang sedang giat mencari pahala di bulan ramadhan, mencari ridhonya. Rasanya, tak sepantasnya aku merangkaikan kata panjang-panjang untukmu. Begini saja, yang sederhana,
Bahkan untuk memandangmu dari dekat sini, rasanya aku malu
Hatiku gugup sehingga mataku mengatup
Dan jantungku berdegup tak keruan
Sehingga kepalaku hanya dapat merunduk
Aku terpesona, tapi aku takut
Aku takut karna Allah selalu melihatku

Tidak ada komentar: