Jumat, 04 Juli 2014

–Cerita Ibu-



3 Juli 2014
Waktu itu aku sedang sibuk menantikan jam pulang. Di atas bangku, aku duduk tak keruan. Pak dosen terus saja meceracau walau sebenarnya sudah tiba waktu pulang. Bibirku mengatup dan serasa terhirup kedalam mulutku sendiri. Tanganku sebentar-sebentar mengepal lalu kemudian bertopang dagu. Tatapanku tak tertuju pada penjelasan pak dosen lagi. Heran aku, rasanya bapak itu begitu senang mengajar hingga harus meluangkan waktu dengan sedikit menambah jam terbangnya. Mataku melirik ke kanan, ke kiri dan ke depan secara berulang hingga bosan akhirnya aku jadi seperti orang linglung. Aku jadi melamun atau jika pak dosen menatap ke arahku, aku lantas berpura-pura memberikan kesan jenius. Dan ketika bapak itu menuju ke arah lain, aku kembali lagi pada posisi nyamanku, layu dengan tatapan kosong. Menyeringai halus dalam diam.
“Ibu, pasti sudah menungguku disana” gerutuku dalam hati. Bagaimana ini, di satu sisi aku tak ingin mengganggu jalannya perkuliahan namun di lain sisi dan pastinya yang timbangannya lebih berat, aku juga tidak ingin membiarkan ibu sendirian terlalu lama menunggu. Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Pak dosen melongok jam tangannya, ia sadari waktu ternyata sudah lewat jam 10.
Di stasiun Manggarai, kami bertemu. Aku melihat ibu sudah terduduk di depan pintu masuk stasiun. Aku masih ingat, Ibu memakai baju bunga-bunga berwarna biru tua dan celana legging hitam berbalut kerudung oranye di kepala. Seperti itu gaya ibuku, casual dan asal tembak warna yang penting dipakainya nyaman. Kami bercengkrama sebentar sebelum pergi dan kembali ke tempat kosanku. Ibu selalu saja memiliki cerita jika bertemu denganku. Beliau menceritakan segala hal yang terjadi di rumah. Biasanya mengenai kakak atau keadaannya sendiri yang kesepian karna tak ada aku.
Kakak, ya. Ia kakakku satu-satunya, perempuan, Ia sedang mengandung sekitar lima bulan. Ibu bercerita tentang keadaan kakak yang tidak lagi muntah-muntah seperti pada awal kehamilannya. Syukurlah. “Maafkan ibu ya, karna ada suami kakakmu makanya kau tak bisa berkunjung dulu ke tangerang.” Kata ibu sembari menatapku dengan sayu. “Tak apa bu tak apa yang penting semuanya baik-baik saja.” Sambil ku genggam tangan ibu berharap dirinya tak akan merasa sepi lagi.
Aku tidak bisa menceritakan terlalu jauh mengenai kakak iparku. Yang jelas, tempat tinggal kami di tangerang tak bisa dikatakan layak jika mesti menampung lebih dari tiga orang. Rumah kontrakan, ya, dengan tiga petak kamar dan satu kamar mandi menempel dengan tembok dapur. Bukannya, aku juga tak ingin pulang namun aku hanya tak ingin mengganggu ketentraman keluarga kakakku. Dan lagi dengan keadaan kakak yang pastinya perlu mendapatkan perhatian khusus dari suaminya. Kata orang, wanita yang sedang hamil itu lebih labil jiwanya dan seharusnya disaat begitu suaminyalah yang setia mendampinginya supaya mendapatkan kasih sayang dan perhatian.
                                                                        ***
Ku tenteng bawaan ibu dan kami mulai pergi meninggalkan stasiun. Kantong kresek, itulah yang selalu di bawa ibu. Biarpun ada tas yang kurasa amat layak di pakai namun ibu tetap menggunakan kantong itu dan membiarkan tasnya menganggur di rumah tak terpakai. di dalamnya ibu membawa beras satu liter dan pakaian gantinya untuk menginap semalam di kosanku. Ibu pernah bilang, “Sengaja ibu memakai kantong kresek, ini ibu lakukan supaya tak akan ada yang berani menjambret tas ibu.” Ibu, ibu. Tapi, bukankah justru yang seperti ini resikonya lebih besar. Karna menurutku, tas plastik ini kan lama-kelamaan akan rapuh dan cepat rusak. Kalau sudah rusak, ia dapat mudah sobek dan nantinya barang-barang yang ibu bawa malah terjatuh di jalan. Aku pernah memberitahu ibu perihal resiko itu, namun jawaban ibu “Tenang saja, ibu kan sudah mendobelnya jadi tak akan masalah.”
“Ya sudah kalau memang begitu menurut ibu” jawabku pasrah.
Di kosan, kami melanjutkan lagi pembicaraan yang sempat tertunda tadi. Maklum, kami tak biasa berbicara jika dalam angkutan umum ataupun di depan khalayak ramai. Ibu memulai satu kata dengan garang. “Sudah, jika kau ingin pulang pulanglah! Abaikan kakak iparmu.”
“Kau tahu? Ibu juga bosan di sana. Selain tak ada kau juga karna ibu tak bisa menonton televisi. Yang benar saja, masa hingga tivi saja dikuasai olehnya!
“Ah! Ibu tak sabar ingin kau cepat-cepat lulus dan bisa segera bekerja. Setelah itu kau mengumpulkan uang banyak dan kita beli rumah untuk kita berdua saja. Ibu selalu membayangkan itu, melihat kau akan bahagia bisa menjajani dirimu sendiri sesuka hatimu. Tidak seperti sekarang. Ibu tahu, kau pasti merasakan kesusahan bukan? Dengan berbekal uang saku yang tak seberapa dari ibu dan kau mesti selalu irit memakainya.” Ibu terhenti sejenak dan mengusap air matanya yang perlahan membasahi pipinya.
“Ibu tahu, kau ingin seperti anak-anak lainnya. Menikmati masa muda dengan bersenang-senang, memakai pakaian bagus, melakukan segalanya sesuai keinginanmu. Bertualang ke berbagai tempat dan berlibur bersama teman-temanmu. Tapi, gara-gara ibumu yang bukan orang kaya kau jadi terkena imbasnya. Kau harus hidup serba pas-pasan setiap harinya. Ibu tak pernah bisa membahagiakanmu bahkan dari kau balita, kau sudah hidup apa adanya.”
Aku hanya menjawabnya dengan kata-kata yang sama. Ibu juga, selama hidupmu, ibu tak pernah merasakan kebahagiaan bukan?. Tahukah ibu? Kau justru sudah terlalu berlebihan memanjakanku. Kau banting tulang dari dulu untuk menghidupi kakak dan aku. Bersusah payah, pergi di gelap hari dan pulang juga langit tak benderang. Untuk apa semua itu? Supaya kakak dan aku bisa hidup layak seperti anak-anak lainnya. Jika ada manusia yang paling tangguh dan lembut hatinya, itu kau ibu. Tidak ada yang lain.
Ibu bercerita lagi tentang masa kecilnya. Beliau sudah mulai bekerja, mencari nafkah sendiri semenjak kelas empat di bangku sekolah dasar. Kerjanya serabutan, membantu nenek, sesekali menanam sayuran di lahan orang lalu jika sudah masak di jual ke kampung-kampung. Kerja apa saja yang penting halal, tapi lebih berhubungan kepada pertanian. Pergi ke sekolah dengan menaiki sepeda atau juga jalan kaki berkilo-kilo jauhnya. Setelah pulang, bekerja lagi membantu nenek. Tak putus-putus, sekeras itu kegiatanmu pun setelah menikah dan memiliki anak.
Makin jadi sakitmu, aku tahu itu setelah ayah pergi meninggalkanmu. Ah! Sebenarnya aku tak ingin membahasnya lagi. Tapi, yang aku heran aku tak pernah melihatmu menangis saat itu. Apa kau sengaja menyembunyikannya?
                                                                        ***
Kini, kau semakin layu. Keriput sudah berkeliaran di mana-mana, di setiap sisi tubuhmu. Di tanganmu, kakimu dan juga di wajahmu. Mulai terlihat juga bintik-bintik penuaan dan garis berlipat di ujung matamu. Kecantikanmu seraya memudar, tapi tidak senyummu ibu.
Jalanmu tak segagah dulu. Aku ingat, setaip kali aku berjalan bersamamu pastilah aku terdahului. Kau selalu bilang, aku lamban dan ibu tak bisa menungguku terus. Bisa-bisa segalanya jadi terlambat karna aku.
Jadi terlintas dalam pikiranku, sebuah pertanyaan. “Mengapa manusia begitu cepat menua?”
Aku melihat wajahmu tak henti-henti. Dalam lelapmu, kau begitu tenang. Kelelahan dan kepayahan, kutahu. Tapi kau menapiknya. Lihat! Kelopak matamu yang lagi terkatup itu membusung ke dalam jadi bulatan kawah yang begitu cekung. Dan kau terbangun seketika. Aku pun membuang pandangku. Kau mulai bercerita lagi. Kali ini ibu ternyata lebih pasrah. “Mengapa aku mesti berlarut-larut dalam kenestapaan ini? Toh, ini semua belum juga ditakdirkan untuk berubah jadi indah.”
“Jangan pikirkan lagi, sudah. Perkataan orang juga. Jangan dihirauan ya!. Kebalkan dirimu dari ocehan tetangga. Buat dirimu sendiri tersemangati oleh cerita-ceritaku tadi. Kamu sudah mengetahui segalanya. Tentang saudara-saudaramu juga, bibi-bibimu. Tidak ada satupun dari kakak-kakak ibu yang bahagia hidupnya. Mereka semua bahkan mengecap pahit yang lebih dalam dari ibu. Beruntung ibu masih memiliki mereka dan status ibu juga sebagai adik terbungsu. Jadi masih ada yang menasehati dan membantu ibu. ”
Aku mengerti. Cerita, ya. Semua itu akan menjadi pengalaman. Dan pegalaman itu adalah guru terbaik kita. Mengajari kita bukannya untuk mengukung terus diri dalam penjara jiwa sendiri. Terperosok dan menerima jatuh hingga ke jurang yang terdalam. Bukan. Tapi, itu semua sebagai proses. Proses hidup yang memang mesti dijalani setiap orang. Tak terkecuali. Bisa jadi ada yang lebih getir perjalanan hidupnya. Bahkan hingga tak punya kendali dan mati sia-sia.
Tuhan, ya. Bercerita saja padanya. Sang khalik akan senantiasa mendengar hamba-nya. Karna dia yang Maha Kasih dan Maha Penyayang.
Terima kasih ya Allah dan Ibu atas ceritamu J

Tidak ada komentar: