3 Juli 2014
Waktu
itu aku sedang sibuk menantikan jam pulang. Di atas bangku, aku duduk tak
keruan. Pak dosen terus saja meceracau walau sebenarnya sudah tiba waktu
pulang. Bibirku mengatup dan serasa terhirup kedalam mulutku sendiri. Tanganku
sebentar-sebentar mengepal lalu kemudian bertopang dagu. Tatapanku tak tertuju
pada penjelasan pak dosen lagi. Heran aku, rasanya bapak itu begitu senang
mengajar hingga harus meluangkan waktu dengan sedikit menambah jam terbangnya.
Mataku melirik ke kanan, ke kiri dan ke depan secara berulang hingga bosan
akhirnya aku jadi seperti orang linglung. Aku jadi melamun atau jika pak dosen
menatap ke arahku, aku lantas berpura-pura memberikan kesan jenius. Dan ketika
bapak itu menuju ke arah lain, aku kembali lagi pada posisi nyamanku, layu
dengan tatapan kosong. Menyeringai halus dalam diam.
“Ibu,
pasti sudah menungguku disana” gerutuku dalam hati. Bagaimana ini, di satu sisi
aku tak ingin mengganggu jalannya perkuliahan namun di lain sisi dan pastinya yang
timbangannya lebih berat, aku juga tidak ingin membiarkan ibu sendirian terlalu
lama menunggu. Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Pak dosen melongok jam
tangannya, ia sadari waktu ternyata sudah lewat jam 10.
Di
stasiun Manggarai, kami bertemu. Aku melihat ibu sudah terduduk di depan pintu
masuk stasiun. Aku masih ingat, Ibu memakai baju bunga-bunga berwarna biru tua
dan celana legging hitam berbalut
kerudung oranye di kepala. Seperti itu gaya ibuku, casual dan asal tembak warna yang penting dipakainya nyaman. Kami
bercengkrama sebentar sebelum pergi dan kembali ke tempat kosanku. Ibu selalu
saja memiliki cerita jika bertemu denganku. Beliau menceritakan segala hal yang
terjadi di rumah. Biasanya mengenai kakak atau keadaannya sendiri yang kesepian
karna tak ada aku.
Kakak,
ya. Ia kakakku satu-satunya, perempuan, Ia sedang mengandung sekitar lima
bulan. Ibu bercerita tentang keadaan kakak yang tidak lagi muntah-muntah
seperti pada awal kehamilannya. Syukurlah. “Maafkan ibu ya, karna ada suami
kakakmu makanya kau tak bisa berkunjung dulu ke tangerang.” Kata ibu sembari
menatapku dengan sayu. “Tak apa bu tak apa yang penting semuanya baik-baik
saja.” Sambil ku genggam tangan ibu berharap dirinya tak akan merasa sepi lagi.
Aku
tidak bisa menceritakan terlalu jauh mengenai kakak iparku. Yang jelas, tempat
tinggal kami di tangerang tak bisa dikatakan layak jika mesti menampung lebih
dari tiga orang. Rumah kontrakan, ya, dengan tiga petak kamar dan satu kamar
mandi menempel dengan tembok dapur. Bukannya, aku juga tak ingin pulang namun
aku hanya tak ingin mengganggu ketentraman keluarga kakakku. Dan lagi dengan
keadaan kakak yang pastinya perlu mendapatkan perhatian khusus dari suaminya. Kata
orang, wanita yang sedang hamil itu lebih labil jiwanya dan seharusnya disaat
begitu suaminyalah yang setia mendampinginya supaya mendapatkan kasih sayang
dan perhatian.
***
Ku
tenteng bawaan ibu dan kami mulai pergi meninggalkan stasiun. Kantong kresek,
itulah yang selalu di bawa ibu. Biarpun ada tas yang kurasa amat layak di pakai
namun ibu tetap menggunakan kantong itu dan membiarkan tasnya menganggur di
rumah tak terpakai. di dalamnya ibu membawa beras satu liter dan pakaian
gantinya untuk menginap semalam di kosanku. Ibu pernah bilang, “Sengaja ibu
memakai kantong kresek, ini ibu lakukan supaya tak akan ada yang berani
menjambret tas ibu.” Ibu, ibu. Tapi, bukankah justru yang seperti ini resikonya
lebih besar. Karna menurutku, tas plastik ini kan lama-kelamaan akan rapuh dan
cepat rusak. Kalau sudah rusak, ia dapat mudah sobek dan nantinya barang-barang
yang ibu bawa malah terjatuh di jalan. Aku pernah memberitahu ibu perihal
resiko itu, namun jawaban ibu “Tenang saja, ibu kan sudah mendobelnya jadi tak
akan masalah.”
“Ya
sudah kalau memang begitu menurut ibu” jawabku pasrah.
Di
kosan, kami melanjutkan lagi pembicaraan yang sempat tertunda tadi. Maklum,
kami tak biasa berbicara jika dalam angkutan umum ataupun di depan khalayak
ramai. Ibu memulai satu kata dengan garang. “Sudah, jika kau ingin pulang
pulanglah! Abaikan kakak iparmu.”
“Kau
tahu? Ibu juga bosan di sana. Selain tak ada kau juga karna ibu tak bisa
menonton televisi. Yang benar saja, masa
hingga tivi saja dikuasai olehnya!
“Ah!
Ibu tak sabar ingin kau cepat-cepat lulus dan bisa segera bekerja. Setelah itu
kau mengumpulkan uang banyak dan kita beli rumah untuk kita berdua saja. Ibu
selalu membayangkan itu, melihat kau akan bahagia bisa menjajani dirimu sendiri
sesuka hatimu. Tidak seperti sekarang. Ibu tahu, kau pasti merasakan kesusahan
bukan? Dengan berbekal uang saku yang tak seberapa dari ibu dan kau mesti
selalu irit memakainya.” Ibu terhenti sejenak dan mengusap air matanya yang
perlahan membasahi pipinya.
“Ibu
tahu, kau ingin seperti anak-anak lainnya. Menikmati masa muda dengan bersenang-senang,
memakai pakaian bagus, melakukan segalanya sesuai keinginanmu. Bertualang ke
berbagai tempat dan berlibur bersama teman-temanmu. Tapi, gara-gara ibumu yang
bukan orang kaya kau jadi terkena imbasnya. Kau harus hidup serba pas-pasan
setiap harinya. Ibu tak pernah bisa membahagiakanmu bahkan dari kau balita, kau
sudah hidup apa adanya.”
Aku
hanya menjawabnya dengan kata-kata yang sama. Ibu juga, selama hidupmu, ibu tak
pernah merasakan kebahagiaan bukan?. Tahukah ibu? Kau justru sudah terlalu berlebihan
memanjakanku. Kau banting tulang dari dulu untuk menghidupi kakak dan aku.
Bersusah payah, pergi di gelap hari dan pulang juga langit tak benderang. Untuk
apa semua itu? Supaya kakak dan aku bisa hidup layak seperti anak-anak lainnya.
Jika ada manusia yang paling tangguh dan lembut hatinya, itu kau ibu. Tidak ada
yang lain.
Ibu
bercerita lagi tentang masa kecilnya. Beliau sudah mulai bekerja, mencari
nafkah sendiri semenjak kelas empat di bangku sekolah dasar. Kerjanya
serabutan, membantu nenek, sesekali menanam sayuran di lahan orang lalu jika
sudah masak di jual ke kampung-kampung. Kerja apa saja yang penting halal, tapi
lebih berhubungan kepada pertanian. Pergi ke sekolah dengan menaiki sepeda atau
juga jalan kaki berkilo-kilo jauhnya. Setelah pulang, bekerja lagi membantu
nenek. Tak putus-putus, sekeras itu kegiatanmu pun setelah menikah dan memiliki
anak.
Makin
jadi sakitmu, aku tahu itu setelah ayah pergi meninggalkanmu. Ah! Sebenarnya
aku tak ingin membahasnya lagi. Tapi, yang aku heran aku tak pernah melihatmu
menangis saat itu. Apa kau sengaja menyembunyikannya?
***
Kini,
kau semakin layu. Keriput sudah berkeliaran di mana-mana, di setiap sisi
tubuhmu. Di tanganmu, kakimu dan juga di wajahmu. Mulai terlihat juga
bintik-bintik penuaan dan garis berlipat di ujung matamu. Kecantikanmu seraya
memudar, tapi tidak senyummu ibu.
Jalanmu
tak segagah dulu. Aku ingat, setaip kali aku berjalan bersamamu pastilah aku
terdahului. Kau selalu bilang, aku lamban dan ibu tak bisa menungguku terus.
Bisa-bisa segalanya jadi terlambat karna aku.
Jadi
terlintas dalam pikiranku, sebuah pertanyaan. “Mengapa manusia begitu cepat
menua?”
Aku
melihat wajahmu tak henti-henti. Dalam lelapmu, kau begitu tenang. Kelelahan
dan kepayahan, kutahu. Tapi kau menapiknya. Lihat! Kelopak matamu yang lagi
terkatup itu membusung ke dalam jadi bulatan kawah yang begitu cekung. Dan kau
terbangun seketika. Aku pun membuang pandangku. Kau mulai bercerita lagi. Kali
ini ibu ternyata lebih pasrah. “Mengapa aku mesti berlarut-larut dalam kenestapaan
ini? Toh, ini semua belum juga ditakdirkan untuk berubah jadi indah.”
“Jangan
pikirkan lagi, sudah. Perkataan orang juga. Jangan dihirauan ya!. Kebalkan
dirimu dari ocehan tetangga. Buat dirimu sendiri tersemangati oleh
cerita-ceritaku tadi. Kamu sudah mengetahui segalanya. Tentang
saudara-saudaramu juga, bibi-bibimu. Tidak ada satupun dari kakak-kakak ibu
yang bahagia hidupnya. Mereka semua bahkan mengecap pahit yang lebih dalam dari
ibu. Beruntung ibu masih memiliki mereka dan status ibu juga sebagai adik
terbungsu. Jadi masih ada yang menasehati dan membantu ibu. ”
Aku
mengerti. Cerita, ya. Semua itu akan menjadi pengalaman. Dan pegalaman itu
adalah guru terbaik kita. Mengajari kita bukannya untuk mengukung terus diri
dalam penjara jiwa sendiri. Terperosok dan menerima jatuh hingga ke jurang yang
terdalam. Bukan. Tapi, itu semua sebagai proses. Proses hidup yang memang mesti
dijalani setiap orang. Tak terkecuali. Bisa jadi ada yang lebih getir
perjalanan hidupnya. Bahkan hingga tak punya kendali dan mati sia-sia.
Tuhan,
ya. Bercerita saja padanya. Sang khalik akan senantiasa mendengar hamba-nya.
Karna dia yang Maha Kasih dan Maha Penyayang.
Terima
kasih ya Allah dan Ibu atas ceritamu J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar