Selasa, 08 Juli 2014

-Cerita lima dan enam- (Part 1)



8 Juli 2014

Aku sedikit lupa bagaimana ceritanya. Yang jelas di kedua hari itu di tanggal lima dan enam Juli adalah hari yang berkesan untukku. Bertemu para malaikat-malaikat kecil yang cantik dan tampan. Mereka semua begitu polos dan terlampau lincah. Hal yang paling mendebarkan adalah melihat mereka berlarian, kesana-kemari. Aku cemas tatkala mereka akhirnya terjatuh dan tersungkur ke tanah. Aku takut saat mereka tiba-tiba berkelahi dan menangis karna di saat-saat begitu aku sulit mendiamkan mereka. Aku memang tak punya bakat menghibur anak kecil. Tapi, yang aku bangga pada mereka adalah ketika mereka tak saling bermusuhan lama seperti halnya orang dewasa. Biasanya orang dewasa itu jika sudah bersengketa dengan yang lain pasti dampaknya berlangsung dalam jangka panjang. Berbeda dengan anak-anak ini, didorong atau dipukul sedikit dengan temannya paling-paling mereka hanya menangis atau membalasnya dan seketika berbaikan lagi, bermain bersama lagi.
Sifat mereka bermacam-macam. Ada yang pendiam, sangat diam. Tak berbicara sepatah katapun selama kegiatan berlangsung. Aku jadi tertawa sendiri, rasa-rasanya aku melihat diriku sendiri didalam diri anak itu. Pemalu dan mudah menangis jika sedikit saja diusik. Ada yang cerewet dan banyak bicara, sepanjang hari mengganggu temannya mencoba menjerat ke dunianya. Ada yang suka melawak, sebentar-sebentar tertawa nyaring dan bertingkah laku seolah ia satu-satunya yang harus menjadi pusat perhatian. Ada yang diam-diam menerobos ke sebelah pembawa acara, mencoba mengalahkan gurauan renyah dari mc tersebut. Menjadi banci tampil dan meneriaki kata-kata yang belum jelas diucapkan kepada teman-temannya. Sang mc pun menimpali dengan lawakan yang lebih jenaka sehingga seluruh anak dan peserta tertawa terpingkal-pingkal. Pintar sekali si pembawa acara itu, pikirku.
Ada lagi, yang hanya menjadi pengikut setia teman-temannya yang lain. Temannya tertawa, ia ikut tertawa. Temannya diam, ia pun ikut diam. Tapi, mereka semua sama, lucu dan menggemaskan. Aku tak menolak jika ada salah satu dari mereka minta kupeluk, tiduran manja di pangkuanku. Aku menyayangi mereka, tanpa alasan tanpa pamrih dan tanpa basa-basi. Berada di dekat mereka serasa begitu menyenangkan.
                                                                        ***
“Tante rindu, kalian. Tante juga ingin memeluk erat tubuh kalian yang mungil. Berada di dekat kalian dan mendengar semua cerita yang tak sempat tante dengar selama ini. Kalian pasti sudah bertambah besar dan pintar. Terbesit dalam ingatan tante tentang kalian. Ingin bertemu tapi tak mampu. Hanya kepada para malaikat kecil ini tante meluapkan segala rindu yang mendalam kepada kalian, kemenakanku.”
Aku teringat senyumanmu, wajahmu yang lugu. Membuatku termangu di sela-sela kegiatan ini. Melihat ke sekeliling, yang ada hanya begitu banyaknya anak-anak kecil. Aku tersenyum beku dan menangis pilu dalam hati. Aku takut jika kau akhirnya tak lagi mengenaliku karna jarang bertemu sekadar untuk melepas rindu. Malah ditemani dan bermain dengan orang lain. Tak ayal, keakraban dengan orang lan itu lebih kental daripada dengan saudara sendiri. Lantas kau mengabaikanku ketika aku datang. Menapik, padahal aku ingin sekali mencium pipi dan keningmu.
Dari belakang ada makhluk kecil menerjang. Melingkarkan kedua lengannya pada leherku, seketika membuyarkan lamunanku. Lalu aku terkesiap melihat ke sebelah kananku. Dibawahnya kutemukan bebarapa kertas bergambar, kertas yang tadi digunakan untuk micro teaching. Ku berikan semua kertas bergambar itu padanya, berharap ia tambah giat belajar karna di atas kertas itu terdapat gambar hewan dengan makna bahasa inggrisnya. Tak ku sangka, salah satu temannya ada yang kecewa. Ia iri melihatku memberikan kertas bergambar itu kepada temannya. Ia bilang “Itu kan milik orang lain, kenapa kakak mengambilnya dan memberikannya pada masya?”. Oh tuhan, apa yang baru saja kulakukan. Tak seharusnya aku mengajarkan kepada mereka yang tidak baik. Aku malu seketika, bagaimana tidak anak sekecil itu mampu menasihatiku dengan kata-kata sebijaksana itu. Oh, rasanya wajahku ingin ku palingkan dan kututupi dengan jilbabku ini. Ah, gawat!
                                                                        ***
Adzan maghrib akhirnya berkumandang, mendengungkan lafadz-lafadz nan mengagumkan. Aku selalu terpesona mendengarnya apalagi jika sang mu’adzin suaranya begitu merdu dan indah. Tak bosan aku rasanya untuk berdiam diri lama sekadar mendengarkan adzan hingga habis di lafadz terakhir Lailahaillallah.
Para panitia berkeliling membagikan ta’jil untuk berbuka. Anak-anak berebutan ingin juga mendapatkannya. Ada teh manis, kurma dan es buah. Fina yang sejak tadi hanya melihat ternyata sudah mengincar makanan untukku berbuka. Dengan polosnya ia meminta “Ih, kakak dapet teh manis sama kurma. Boleh buat aku gak ka?” Wajahnya melas sekali, penuh harap. Berharap aku benas-benar akan memberikan makananku. Dan aku pun tak tega. “Iya, ini buat kamu ya sayang” aku tersenyum sambil memegang pipinya dan sedikit membenarkan jilbabnya yang kulihat selalu miring. Sudah diperbaiki tetap saja kembali seperti semula. Acak-acakan lagi.
Mimik wajah mereka itu tidak dibuat-buat. Polos ya polos. Tenang ya menenangkan. Walaupun ada beberapa dari mereka yang sulit diatur. Tapi, bagiku itu semua adalah cara mereka untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Tinggal kita sebagai orang dewasa mampu atau tidak membacanya dan memberikan tanggapan yang sesuai dan tidak menyakiti perasaan mereka. Hingga akhirnya mereka tetap bersikap apa adanya, sesuai yang diperintahkan dari dalam hati dan pikiran mereka.
Ada dua anak laki-laki yang aku tak bisa lupa tingkahnya. Kalau tak salah yang satu namanya fadil dan satunya lagi aku lupa karna aku tak sempat bertanya padanya. Si fadil itu berbadan gemuk, berkulit putih. Tingkahnya lucu dan menggemaskan, lincah dan suka berlarian kesana-kemari tak henti-henti. Gigi atasnya banyak yang tanggal jadi tak jarang kami para peserta dibuatnya tertawa hingga terpingkal-pingkal karna melihatnya yang sedang tertawa itu tanpa sengaja memamerkan gigi-giginya yang sulit dideskripsikan bagaimana  bentuknya.
Anak yang satunya lagi, aku ingat ia begitu tampan dan mudah buat aku jatuh cinta. Masih kecil tapi sudah buat orang terpesona. Tingkahnya tak berbeda dengan fadil. Ketika seorang panitia sedang membagikan es buah, ia lantas dengan sigap meminta satu gelas. Lalu jika panitia tersebut berpindah ke tempat lain, ia menyembunyikan es buah miliknya dan berkata pada panitia tersebut kalau ia malah belum dapat. Lalu ia mendapatkan lagi satu. Tak puas dengan hanya dua gelas yang padahal belum ia seruput sedikitpun. Ia berlari ke tempat dimana es buah itu dibuat. Ia mengambil lagi satu dan jadilah tiga es buah dimiliknya. Namun, masih tetap saja ia tak puas lantas ia pergi menerjang piring-piring makanan yang telah panitia siapkan di meja depan. Ia mengambil beberapa kue dan kembali ke tempat duduknya. Begitu seterusnya jika ia merasa belum terpuaskan.
Aku hanya menyaksikan setiap tingkah laku mereka. Sedikit-sedikit tertawa, sedikit-sedikit tak menyangka. Mereka bahkan lebih hebat dariku ketika aku masih kecil dulu. Tapi, aku kini belajar dari mereka. Bahagia itu sederhana, bahagia itu saat kita bisa menikmati berada di tengah orang-orang yang menyayangi dan menerima kita apa adanya. Tak perlu berpura-pura menjadi orang lain ataupun menyembunyikan diri kita yang sesungguhnya. Di hadapan teman-teman justru yang terbaik adalah mengekspresikan segalanya. Bercengkrama dan tak perlu takut untuk berbicara. Karna dengan begitu, perlahan sebenarnya kita sedang mencari seperti apa jati diri kita dan memilah barangkali ada yang tak sesuai untuk kita. Menyeleksinya sehingga menjadikan sebuah diri yang disebut ‘Inilah diriku yang sebenarnya.’
                                                                        ***
Bakti sosial pun selesai, tugas untuk menemani anak-anak cerdas ini juga berakhir. Mereka berbaris sangat rapi dan menyambut giliran masing-masing untuk bersalaman dengan kakak yang sedari tadi menemani mereka. Diakhir acara mereka semua mendapatkan bingkisan dan kenang-kenangan berupa buku dan peralatan sekolah lainnya. Kebahagiaan mereka, canda tawa mereka telah menjadi kebahagiaanku seketika. Biarpun hanya beberapa jam bersama tapi, rasanya sudah menjadi bagian dari hidupku yang tak bisa begitu saja untuk dilupakan.
Kakak tidak akan melupakan kalian semua. Kenangan bersama kalian akan selalu kakak ingat. Terima kasih sudah mengajarkan kakak sehingga membuat kakak mengerti. Terima kasih juga membuat kakak penuh senyuman sore ini.
-Pelukan hangat dan cium dari kakak :*

Tidak ada komentar: