Sepucuk rindu untuk ayah
‘Yah’… hari ini sudah
yang kesekian kali aku lihat ibu begitu. Dalam manisnya ia cicipi juga getir
bergulir hambar meradang pahit rasa tak rihaukan lagi, tak ragu bila ia bisa
jadi dua dan gantikanmu. Bukannya tak lagi ada ruang, disini, dihati. Tapi
entah mungkin atau iya kehampaan sudah begitu membuat gersang. Bahkan aku
hampir lupakanmu saking lamanya kau tak lagi hadir disini, didepan mataku. Disana,
diseberang jalan sana ada bidadari kecil, pernah sesekali berkata padaku. “Tak
ada yang lebih hangat daripada pelukan sang ayah, tak bisa sangsi bila tiap
waktu ialah pelindung didalam rumahku, meramaikan ditengah ketakberadaan cinta
karna ia memberikannya, merangkul erat dikala semua pada risau.”
Aku iri, ‘Yah’… Cuma
sejumput. Tidak lebih tak juga kurang. Ada lagi dibatas senja, gadis belia
pertengahan. “Amarahnya bukan memacuku untuk jadi lemah atau untuk lebih
menghardiknya, mencaci dan membencinya. Tapi yang terus kusadari meski merah
melingkari auranya, mata kijangnya mencuat tetaplah memancari wajahnya
ketulusan dan kesabaran, kasih sayang yang indah dan tak pernah bisa kulupa
itu.”
Ah! Mereka terlalu
banyak perkataan. Tak bisa memaknai hal yang tak pernah mereka alami. Sudahlah!
apa pula gunanya ini, dulu bisa kau timang itu saja cukuplah. Cukup tuk tidak
memalsukan adanya dirimu, cukup karna kau telah menghadirkanku di dunia ini. Biarpun
belasan tahun itu tidak bisa mengubah apa-apa, biarpun kesal selimuti hati yang
dingin ini. Sekalipun cucuran dari mata
yang berair ini berulang-ulang kalinya, sekalipun kisah tak ada juang lagi. Aku
juga tidak bisa sangsi aku merinduimu. Benar saja, jika jadi ibu pasti riang
tiada henti setidaknya tidak untuk waktu yang selama ini. Dimana kau, ‘Yah’..
Kemana kau sepanjang waktu ini.. Urusan apa yang lagi kau emban hingga
mengorbankan detik yang berharga ini..
Aku harap kau tidak
lupa, berapa tanggal aku dihadiri oleh Tuhan. Aku harap kau juga tidak
hilangkan secarik ingatan tentang aku. Bukan kasihan dari semua jawaban ini,
bukan tangisan yang isak yang kuingini, bukan pula apapun yang sebaiknya tidak
jadi milikku. Seperti yang tadi aku ucap, dimana nyata itu yang benar disini.
Maafkan aku, tapi air
mataku sudah jatuh tanpa kusadari. Mengenang, meraba cerita sejuk yang ku
andaikan aku adalah mereka. Aku sudah jadi sebuah pohon yang tiada ranting yang
layu tiada kesempatan lagi tuk lebih tinggi. Mungkin supaya dapat kugapai
apalah yang jadi kehendakku dan jalan takdirku. Tapi rasanya telah tersendat,
‘Yah’.. Lama lama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar