Aku tidak dapat berkata
lagi jika memang yang terjadi itu diluar kemampuanku. Aku belajar mengerti
walau hanya diruang sepetak ini. Aku belajar mendewasakan diri di tempat penuh
rasa pengap nan bisik pedihnya menyeringai. Aku selalu tinggalkan keluhku disini.
Berkali-kali detak waktu menyuruhku diam, aku tak bisa! Ribuan hari bahkan
perdetik selalu saja menggelisahkan aku, mencambaki relung hatiku, mengusik
segala apa yang lagi aku pegangi, lalu membuangnya hingga terlepas dari aku. Aku
dibuntuti ketika pagi aku menimba ilmu, menyeret aku hingga ke ujung kala aku
pulang dan melepas penat. Aku bukan dihantui, tapi aku memang selalu diikuti
kemanapun pergi. Aku pernah diusir bila tak suka, pergi kemana aku mau. Jangan
kau tanya mengapa jua aku masih disini, aku hanya tidak tahu akan kemana arahku
serta dapatkah aku persinggahan lain. Dunia ini terasa sempit ketika kita dapat
menemui orang-orang yang selama ini tak pernah kita jumpa yang nyatanya ada di
dekat kita, sejak lama. Namun juga dunia ini terasa luas dan sepi, ketika kita
dikucilkan dan dilepas sendiri ke luar ke belahan ruangan lain di sisi dunia
tanpa tahu tujuan. Sendiri biarkan merantau kepulan dingin malam hari, sendiri
resapi asap-asap kotor nan memuakkan. Namun bila aku disini dan rasanya itulah
memang satu-satunya pilihanku, terkecuali bila aku sudah benar bisa hidup dalam
kesendirian. Geram menerjang, setiap kali, terikat ambisi bagaimana aku
melepasnya. Biar hilir mudiknya rasa, raib tak bekas. Malang nian lebih dari
yang pernah dirasa. Dan aku tak bisa berandai-andai, tak boleh juga aku
berbanding dengan yang lebih senang. Tapi katanya hidup itu adalah roda,
mengapa jua roda hidup sebegini melulu. Tak Tuhan berikah katrol diatas rodaku
lalu dengan mudah dapat berputar. Atau itu hanya sebuah kiasan, bahwa
sebenarnya hidup adalah menentukan pilihan. Lalu bagaimana nasib yang sejak
dulu telah patah, putus dirundung lara. Atau tak adilkah Tuhan, mengapa mesti
ada yang bodoh. Akal, semua punya dan lalu bagaimana bisa terjadi ini semua. Ada
jahat, pertengahan dan baik. Halnya seperti aku, aku yakin tidak ada roda karna
buktinya aku tidak merasakan perputarannnya. Aku lalui hari yang tak kupahami
kenapa jua aku ada disini dan sebenarnya apa yang hendak aku cari. Dan apa yang
mesti dilakukan, usahanya aku tak tahu jua mesti dari mana mulai.
Berjalan dan aku
berhenti dipijakkanku yang belum banyak berbekas ini, aku lihati pemuda
kerempeng yang terkulai lemas badannya dan ia sandari pohon raksasa dipinggir
jalan meriden. Jalan yang selalu dipenuhi lalu lalang orang, dan itu tepat pula
diseberang gedung pusat perbelanjaan. Degup napasnya kuakui nampak makin lama
melemah, dengusannya pun tak dapat terdengar jelas lagi. Kudekati dia, mencoba memberi
tanya, tak dijawab. Sebentar napasnya tersengal, dan lalu kelopak matanya
membuka perlahan.
“Aku kira bahagia itu
bisa aku dapatkan lewat jalan yang sederhana, tapi rasa-rasanya aku salah nona.”
Wajahnya kian merana, seperti ingin melolong memberitahu apa yang lagi ia
rasakan, namun berhenti hanya mampir dipikirnya saja. Aku lama pandangi
kelusuhannya, bibirku mengatup dengan sendirinya, akhirnya jua setetes air
jatuh dari pelupuk mataku yang lagi demam iba ini. “Jika bahagia bisa dibeli,
aku ingin membelinya walau aku tak tahu kapan bisa aku membayaranya.”
“Nona, aku tak punyai
banyak uang. Lagi aku jua tak dapat bekerja lantaran aku tak punya selembar pun
ijazah. Umurku sudah begitu dewasanya, tapi tak tahu aku apa yang bisa diperbuat.”
Matanya berpijar seolah menegaskan keputusasaannya. Bagaimana mengenai aku, kurasa
dialah orang yang lebih deritanya. Astaga, sedari tadi hanya kesatu titiklah
itu matanya menerawang. Aku sengajai tanganku mengibas tepat didepannya. Ia tak
beri tanggapan apa-apa, tidak bernetrakah ia?.
“Baru seminggu yang lalu
aku melihat dunia begitu indah seperti nona untuk yang kali terakhir. Inikah
jalan yang mesti ditempuh orang-orang sepertiku?”. “Maaf aku tak menyadarinya”,
kataku.
“Padahal aku tak
berbekal pengalaman apapun mengenai ini, secuil pun sungguh tak kurasai bahagia
itu seperti apa wujudnya. Dan sekarang bila ada kesempatan pun, aku pasti tak
akan bisa melihat bahagia itu.” Sedikit pun tak dapat aku tanggapinya, baru
kubuka rahangku saja sudah harus terkatup lagi gara-gara terus ia berkelakar.
Apa ini, haruskah ada kejadian seperti ini dihariku yang juga lagi suntuk? ada
saja yang berkeluh kesah padaku. Aku tinggali ia tanpa sepengetahuannya,
mengendap terbirit menerobos lintas jalanan berkelok.
Ya Tuhan, aku mengerti
iya aku paham. KAU hadirkan ini dan ciptakan segalanya, supaya kami berpikir.
Berpikirlah mengenai detilnya, berpikirlah seperti tak pernah tahu sebelumnya
lantas nanti akan cari apa maksudnya, lewat berpikir itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar