Minggu, 22 September 2013

Kamu dan Puisi III


            Sementara senjaku lagi beradu, jangan berbalik ke bayang samarmu. Senyummu, apalagi. Jangan usik aku karna lenyapnya yang seketika. Aku telah terima detik kekalahanku, namun jangan pula kau ikut dakwa aku dengan hadirmu yang semu. Begitu pun kisah hidupku, mulai hambar lantaran siang kudapati seperti malam kelabu. Tak ada lagi kudapati bintang yang berkelip warna-warni, atau matahari yang biasa ajak aku menari kala sinarnya ingin pudar dilanda mendung. Jadi biarlah, tetap diruang yang sesak ini aku terus dapatimu kendati tak ada berbalas. Karena, terkadang cahaya matamu sudah cukup jadi balasan indah dari apapun yang aku inginkan.
            Meski hati yang gusar ini selalu mengelabui aku bahwa dunia adalah inti dari kekejaman yang sebenarnya. Memberi pernyataan palsu tentang harapan serta mimpi yang dianggap percuma, padahal selalu lama berdiri di ujung penantian menunggu dengan sabar jadi nyata. Seperti buah yang terlanjur busuk sebelum aku memetiknya. Kau sudah cukup jadi penawarnya, jadi tak perlu lagi aku mencari-cari.
            Jika sampai waktunya, aku belum juga temui siapa diriku, biarlah cinta yang sederhana ini tetap jadi temanku. Merangkul kala aku terjatuh dan diam. Mengusap air mata yang suka mengalir tanpa sengaja dibalik kelopakku yang sendu ini. Dan pinjami bahagia hingga aku tersenyum kembali.
            Mari kita bicara lagi, walau hanya sepasang mata yang mampu berdialog dengan kata-kata seninya. Walau ditengah kerumunan yang akan mengusik kita sehingga ada jarak yang terlalu lampau. Biar kesastraannya muncul dari jejak kaki kita yang setengah berbekas ini. Setidak-tidaknya kita mengerti bahasa kita ada disini. Mungkin ini akan jadi kisah yang menarik, atau juga tidak. Jadi lembaran manis yang akan tertutup lewat lembaran lain yang baru setelah tak lagi bersua. Dan kita ada diarah yang berbeda, menuju pun sama sekali bukan dijalan yang sama.
            Dan, atau nanti kita dapat bertemu di masa yang tak kita duga sebelumnya. Di ruang dunia yang masih dipenuhi dengan tumpukan awan mendung. Dan lagi, senyummu hadir bagai mentari yang mengganti keredupan jadi sinar benderang untuk duniaku yang kecil ini. Terlalu kecil, bahkan hingga aku tak pernah bisa menyimpan senyummu di saku terindahku. Barang tuk hapus sepiku ketika hadirmu mulai menjauh. Setidaknya, laraku pergi. Itu sudah cukup.
            Bila duka menyapamu, jangan gentar kumohon. Lihatlah, dengan mata hatimu. Dengarkan suara terkecil dari relung jiwamu. Jangan lari, tetaplah disini, berdiri dan lawan badai yang senantiasa merobohkanmu. Jadilah tonggak yang selalu kokoh, hantam yang jadi penghalangmu. Jangan biarkan air matamu jatuh, karna itu terlalu berharga. Berikan ketulusanmu, apapun itu dan darimanapun itu berasal. Berikan pada siapapun selama itu semua mampu memberimu hidup lebih agung. Kau, sudah cukup jadi alasanku mengapa masih juga aku disini, kuat melangkah diatas terjalnya jalan hidup yang penuh liku.

Tidak ada komentar: