Sepucuk rindu untuk ayah II
Hari ini atau
kemarin-marin hari aku belum sempat lihat matahari terbit. Aku lebih sering
menghabisi waktuku sendiri dalam duniaku. Aku merasakannya, namun itu bukan
berarti aku memerhatikannya. Padahal aku tahu bisa saja aku menyaksinya,
yakinku itu menyenangkan sekali. Meraba semu derap setiap gemuruhnya, kereta.
Pagiku kelihatan menentramkan, udara yang terselubung dari embun, jejak
kaki-kaki beroda yang bergelincir manis bersandar pada besi-besi tua tak kasat
mata. Ibu atau ayah, walaupun begitu aku tidak bisa seenaknya menyamai kalian
dengan kereta beserta rel besinya. Tapi yang jelas kedua benda itu begitu
eratnya hingga tak dapat dipisahkan, berbeda dengan kalian. Keduanya menopang
dan menjaga satu sama lain, keduanya bersama dalam keseimbangan, selalu.
Berbalik pada kalian, terpisah menyendiri meski dalam satu langit tapi berbeda
ruang berjauhan sudut tanpa pernah kembali, lagi.
Dan mengenai sekarang
juga telah jauh tak terpandang, tak lagi bisa menerawang tentang senyum
ataupula kehambaran. Jangan tanyakan mengenai keadaanku, karna itu berhubungan
langsung pada hati. Entah aku lupa atau memang benar-benar hilang ingatan, aku
sudah beranjak dewasa, aku hampir tak sadar itu. Bagiku seberapa banyak usiaku,
tetap segitu-segitu saja diriku. Tetap merasakan jadwal yang sama tak berubah
setiap tahun, melongoki ibu dalam keremangan apakah sudah hadir atau belum?
Menunduk di setiap ocehannya akibat lalu lalangnya antara amarah dengan
kegirangan. Sesekali aku tertarik, timpali pahit geramnya manis letihnya dan
akhir katanya aku hanya bisa bilang, maaf.
Ternyata ia sudah
mendapati bahagianya, dengan seorang pemuda berumur tak begitu jauh darinya. Ia
mengingini itu dengan amat sangat, sebelumnya. Aku tak mengerti apa yang ada
dalam pikirannya, ketika itu. Tapi tak bisa lagi kupungkiri, ada kisah yang
mesti dijalani bagi tiap-tiap wanita dewasa yang menyandang lajang. Ia butuh
pendamping hidup, ia butuh kesan cinta, yang lama ia baru sadari karna
kekosongan batin telah mematikan kasihnya bagi seorang lelaki. Iya.. Itu karna
ayah jadi seperti itulah ia.
Namun kini kebutuhannya
timbul setelah berulang kali tenggelam. Yang ia ingini selama waktu yang
panjang ini ternyata hal yang ia sama sekali tak pernah sentuh, tak pernah
jamah, dan tak pernah terbuai. Kau telah mengajari kami hal yang tidak benar,
‘Yah’… tapi aku tetap kasih dan mengingini kehadiranmu dari sisi baik dirimu.
Pada detik ini banyak
sekali dedaunan kering yang gugur, berlebihan jika kukatakan itu seperti
hatiku. Dunia anak perempuanmu yang sulung sudah ditemuinya sendiri. Aku tidak
iri, walaupun sesungguhnya aku juga butuh cinta itu. Pernahkah kau sedikit
berpikir atau sejenak saja renungi lika-liku dan lebih banyak hari-hari pahit ketimbang
manis hidup wanita yang telah kau siakan? andai aku jadi ibu, mungkin aku tak
kan mampu sekokoh itu. Aku mengasihinya dan mencintainya. Apakah kau tahu, ayah…
sekarang didepanku ada wanitamu yang kujelaskan tadi lagi berbaring kelelahan.
Kadang untuk memejamkan kelopak mata saja sulit saking remuk dan begitu sakit sekujur
badannya. Dan tahukah kau? Kulit mulusnya kini sudah berubah jadi lipatan yang
kering begitu kasat. Serta daging yang menutupi tulangnya semakin tipis. Aku
tidak tahu kenapa. Tapi bisakah kau jelaskan mengapa semua ini bisa terjadi?
_dari anak bungsumu yang
pernah berumur 5 tahun meronta memanggil namamu_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar