Kamis, 12 September 2013


Sepucuk rindu untuk ayah II

        Hari ini atau kemarin-marin hari aku belum sempat lihat matahari terbit. Aku lebih sering menghabisi waktuku sendiri dalam duniaku. Aku merasakannya, namun itu bukan berarti aku memerhatikannya. Padahal aku tahu bisa saja aku menyaksinya, yakinku itu menyenangkan sekali. Meraba semu derap setiap gemuruhnya, kereta. Pagiku kelihatan menentramkan, udara yang terselubung dari embun, jejak kaki-kaki beroda yang bergelincir manis bersandar pada besi-besi tua tak kasat mata. Ibu atau ayah, walaupun begitu aku tidak bisa seenaknya menyamai kalian dengan kereta beserta rel besinya. Tapi yang jelas kedua benda itu begitu eratnya hingga tak dapat dipisahkan, berbeda dengan kalian. Keduanya menopang dan menjaga satu sama lain, keduanya bersama dalam keseimbangan, selalu. Berbalik pada kalian, terpisah menyendiri meski dalam satu langit tapi berbeda ruang berjauhan sudut tanpa pernah kembali, lagi.
     Dan mengenai sekarang juga telah jauh tak terpandang, tak lagi bisa menerawang tentang senyum ataupula kehambaran. Jangan tanyakan mengenai keadaanku, karna itu berhubungan langsung pada hati. Entah aku lupa atau memang benar-benar hilang ingatan, aku sudah beranjak dewasa, aku hampir tak sadar itu. Bagiku seberapa banyak usiaku, tetap segitu-segitu saja diriku. Tetap merasakan jadwal yang sama tak berubah setiap tahun, melongoki ibu dalam keremangan apakah sudah hadir atau belum? Menunduk di setiap ocehannya akibat lalu lalangnya antara amarah dengan kegirangan. Sesekali aku tertarik, timpali pahit geramnya manis letihnya dan akhir katanya aku hanya bisa bilang, maaf.
       Ternyata ia sudah mendapati bahagianya, dengan seorang pemuda berumur tak begitu jauh darinya. Ia mengingini itu dengan amat sangat, sebelumnya. Aku tak mengerti apa yang ada dalam pikirannya, ketika itu. Tapi tak bisa lagi kupungkiri, ada kisah yang mesti dijalani bagi tiap-tiap wanita dewasa yang menyandang lajang. Ia butuh pendamping hidup, ia butuh kesan cinta, yang lama ia baru sadari karna kekosongan batin telah mematikan kasihnya bagi seorang lelaki. Iya.. Itu karna ayah jadi seperti itulah ia.
Namun kini kebutuhannya timbul setelah berulang kali tenggelam. Yang ia ingini selama waktu yang panjang ini ternyata hal yang ia sama sekali tak pernah sentuh, tak pernah jamah, dan tak pernah terbuai. Kau telah mengajari kami hal yang tidak benar, ‘Yah’… tapi aku tetap kasih dan mengingini kehadiranmu dari sisi baik dirimu.
       Pada detik ini banyak sekali dedaunan kering yang gugur, berlebihan jika kukatakan itu seperti hatiku. Dunia anak perempuanmu yang sulung sudah ditemuinya sendiri. Aku tidak iri, walaupun sesungguhnya aku juga butuh cinta itu. Pernahkah kau sedikit berpikir atau sejenak saja renungi lika-liku dan lebih banyak hari-hari pahit ketimbang manis hidup wanita yang telah kau siakan? andai aku jadi ibu, mungkin aku tak kan mampu sekokoh itu. Aku mengasihinya dan mencintainya. Apakah kau tahu, ayah… sekarang didepanku ada wanitamu yang kujelaskan tadi lagi berbaring kelelahan. Kadang untuk memejamkan kelopak mata saja sulit saking remuk dan begitu sakit sekujur badannya. Dan tahukah kau? Kulit mulusnya kini sudah berubah jadi lipatan yang kering begitu kasat. Serta daging yang menutupi tulangnya semakin tipis. Aku tidak tahu kenapa. Tapi bisakah kau jelaskan mengapa semua ini bisa terjadi?
_dari anak bungsumu yang pernah berumur 5 tahun meronta memanggil namamu_

Tidak ada komentar: