Rabu, 30 September 2015

Ketika dunia dan akhirat harus seimbang


Adakalanya sepi itu datang bukan karena kita ingin diperhatikan atau pun ditemani. Mungkin kesepian itu berarti kita mesti datang, merayu, memerhatikan dan menemani. Adakalanya juga memikirkan dan mengejar cita-cita dunia terus menerus membuat kita merasa hampa, kosong. Selalu ada yang kurang ketika melakukan hal ini dan itu. Senang, bahagia, gembira, memang kita merasakannya namun itu hanya sesaat. Kita tidak pernah benar-benar bahagia, tidak pernah benar-benar merasa sukses atau berhasil. Sejujurnya kita tahu apa sebabnya, apa yang kurang itu dan apa yang kosong itu. Ibarat berjalan tapi tak pernah tahu kemana tujuannya.
Aku merasakannya. Sebagai anak muda, sering aku merasakan kondisi seperti itu. Kuliah lalu mengerjakan tugas, main bersama teman, menonton film kemudian pulang karena kecapaian. Aku menikmatinya, sungguh. Aku tidak pernah merasakan sebebas ini seumur hidupku. Aku benar-benar melakukan apa yang aku suka dan inginkan. Sangat gembira karena hal yang terpenting adalah aku tidak ‘ketinggalan jaman’ lagi.
Setelahnya aku berpikir, ‘apa yang aku dapatkan dari semua yang aku lakukan ini?’ aku mulai merasakan kekosongan itu. Perasaan hampa yang benar-benar menusuk. Perasaan yang hanya ada satu obatnya dan aku tahu itu.
Sebagai seorang muslim, tentu aku shalat lima waktu dan puasa di bulan ramadhan. Segala hal wajib dalam agamaku, aku kerjakan. Iya, aku mengerjakannya. Mengerjakannya tanpa menikmatinya. Baru kali ini, baru disaat-saat sekarang ini. Satu hal yang pasti ini adalah ujian bagiku.
Aku suka sekali berpikir terlebih tentang apa yang baru saja atau dulu pernah aku lakukan. Dulu, masih belum begitu lama sekali. Aku begitu rajin membaca quran, tak pernah satu hari pun terlewat dengan tidak membaca quran. Rajin puasa dan shalat sunah serata beramal. Satu kata yang pasti ketika aku melakukannya. Aku ikhlas dan khusyuk.
Sekarang, aku mulai jarang membaca quran. Puasa dan shalat sunah serta beramal tak pernah aku dekati lagi. Aku merasa sangat bebas, benar-benar bebas. Bahkan burung di angkasa sana tidak mungkin bisa mengalahkan rasa bebasku.
Rasa ikhlas dan khusyuk tak pernah aku rasakan lagi. Membuatku kacau. Setelahnya aku hilang arah. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan. Tak tahu apa yang mesti aku tuju.
Astaghfirullah. mungkin ini karena aku mulai jauh dari-Mu, sangat sangat jauh.
Hampa dan kosong ternyata (memang) adalah ketika hatiku tak bergetar lagi saat menyebut nama-Nya, khusyuk saat menyembah-Nya dan menangis saat berdo’a memohon kepada-Nya.
Bukan dunia yang membuat aku lupa segalanya melainkan diriku sendirilah yang ingin mengejarnya, merasakan kesenikmatannya. Kebahagiaan itu bukanlah kebahagiaan karena sebenarnya ia adalah ujian, ujian terberat dalam hidup.
Dunia dengan segala keindahan yang ditawarkannya. Aku larut seperti garam dalam air. Kalau sudah begitu akan lupa dengan yang namanya ‘mengejar akhirat’.
Mungkin pada akhirnya, kesimpulannya adalah hanya cukup menikmati dunia tanpa perlu sangat terlarut kedalamnya. Berjalan perlahan sembari terus dan terus mengingat Allah, melakukan segala perintah-Nya dan belajar ikhlas serta khusyuk dalam beribadah kepada-Nya.
Rawamangun – Jakarta Timur
30 September 2015 Pukul 19:25

Tidak ada komentar: