Jumat, 07 Oktober 2016

Nyai Combro



Langkahnya sudah mulai tergopoh-gopoh, matanya yang sipit jadi tambah sipit saat ia mesti terjaga di pagi buta begini. Sesekali tubuhnya terhempas gelap membiarkan dirinya sendiri terayun dalam kantuk, masih. Ringkih sudah tulang yang sekian puluh tahun berdiri tegap dan tak gentar selalu dalam kegiatan, setiap jam. Kini di umurnya yang sudah kepala enam, masih saja ia mesti tidur hanya empat jam sehari sedang sisanya ia pakai untuk mencari nafkah mencari uang untuk makan.
Dan sudah dua tahun belakangan ini ia memutuskan untuk berjualan saja ketimbang melakoni kerjaannya yang dulu menjadi pembantu rumah tangga, rasanya sudah sulit baik bagi tubuhnya yang kisut atau juga hatinya yang tak tahan lagi dengan segala caci maki yang ditujukan padanya setiap hari. Selalu saja ada yang dirasa salah padahal ia sudah mengerjakan segalanya dengan baik. Jadilah ia berjualan dan berkeliling menjajakkan jualannnya di sekitar tempat tinggalnya. Biasanya dengan bangun dan mandi pagi sudah bisa menghilangkan rasa sakit ditubuhnya namun hari ini rasanya lain, tubuhnya justru tambah lemas ditambah napasnya yang akhir-akhir ini sudah lagi tidak teratur. Tapi apakah ia mesti diam sementara darimana ia punya uang untuk makan. Kedua anaknya tak bisa lagi diandalkan bahkan untuk memberinya uang bulanan, pun tidak. Anaknya yang satu sudah berkeluarga dan ia pernah disuruh pergi saja dari kontrakan lantaran tambah merepotkan rumah tangga anaknya itu, satu tahun yang lalu sementara yang bungsu hingga umur kepala dua begitu malasnya bekerja dan sukanya hanya tidur makan saja dirumah. Kemudian ia paksakan,dan  mulai ia mencampurkan bahan lalu di uleni dan di bentuk satu persatu serta tak lupa memasukkan isinya yang selanjutnya ia goreng di atas minyak panas. Dinginnya pagi tetap tak bisa dielakkan meski dengan kepulan asap dari tungkunya, badannya tetap sedingin air sungai yang mengalir ditambah rintikan hujan yang tak henti-hentinya mengguyur sejak dua hari lalu, tambah dingin dirasanya.
“Nyai Combro”, begitu panggilan akrabnya. Rasa combro buatan Nyai yang khas sudah menjadi bagian hari bagi tetangga-tetangganya, syukurlah dagangannya selalu habis meski cuacanya yang tidak cerah seperti hari ini. Kesederhanaan rasa yang tidak ditambah bahan-bahan aneh layaknya para penjual diluaran menjadi faktor utama orang ingin membelinya dan itu terlihat pula dari wajahnya yang sejuk ‘seperti memancarkan kedamaian’, begitu kata salah seorang pelanggannya meski Nyai sudah keriput. Sementara menunggu hujan agak reda ia berbaring di pos dekat sekolah. Tinggal kira-kira lima belas lagi sisa combronya, dan itu sengaja disisakannya untuk anak-anak jalanan yang ia tahu jarang sekali makan setiap harinya.
Tibalah saatnya ia pulang, terlalu lama rasanya hari ini dijalani hingga mesti pulang setelah adzan maghrib berkumandang. Biarpun anaknya yang bungsu itu malas mencari kerja, tapi tetap ada sisi lain yang ia bangga pada anaknya. Pekerjaan rumah selalu dijalankan Tina, begitu panggilan anaknya dengan rapi dan tuntas termasuk hari ini ketika ia pulang. Anaknya itu sudah menyiapkan makanan di atas meja.
Tina memang terkadang sulit dimengerti maunya, ia berpikir lebih baik ia diam dirumah daripada mencari kerja diluar. Pernah Nyai menasehatinya untuk mencari kerja karena alasan Nyai tak bisa selalu menjaganya dan menghidupinya dengan umurnya yang sudah tua ini. Namun Tina selalu bertukas, ‘cari kerja sekarang itu susah, bu dan ibu kan tahu aku sering sakit bila terlampau lelah dan bila aku sakit pasti sembuhnya itu lama, bu’ dengan tangis ia mengakhiri kata-katanya,selalu saja.
Biar begitu Nyai tetap saja dalam kekhawatirannya walaupun sebenarnya ia menampakkan kepasrahan. Ia hanya takut dengan apa atau siapa dan bagaimana Tina hidup nanti kalau ia sudah tiada. Nyai teringat ketika Tina kecil, dulu suaminya belum meninggalkannya baru setelah Tina berumur lima tahun ayahnya pergi begitu saja tanpa alasan dan sekarang seperti hilang ditelan bumi. Suatu hari ia tak sengaja melihat suaminya itu memegang kendi kecil berisikan kemenyan lalu mengepul-epulkan asapnya ke wajah mungil Tina yang kala itu sedang tidur nyeyaknya. Ia bingung sebenarnya apa yang diperbuat suaminya itu, namun yang ia sesalkan dari pernikahannya itu adalah ternyata suaminya memiliki kebiasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ia tahu ataupun suaminya katakan padanya salah satunya adalah menyimpan kemenyan beserta sesajen-sesajen seperti halnya seorang yang punya kekuatan atau sering dibilang dukun. Dan tiga tahun pernikahannya makinlah ia mendapati suaminya begitu sibuk dengan kerjaan yang digelutinya itu dari mulai pulang pergi selalu membawa daging mentah ataupula mengurung diri seharian dikamar serta uang yang tiba-tiba datang di depan rumah yang mana jumlahnya amat banyak namun setelah itu belum ada satu jam uangnya itu berubah jadi daun penuh ulat dan suaminya bilang, ‘aku salah mantra’. Seluruh tetangganya bahkan sudah lebih tahu darinya kalau ternyata suaminya memiliki ilmu hitam. Sebenarnya ia tidak begitu mempercayai berita itu karena setahunya sebelum ia menikah,suaminya itu rajin sekali beribadah namun entah mengapa makin lama nyata benar keanehannya dan jadilah sampai suatu ketika suaminya pergi tanpa kabar hingga di usia anak-anaknya yang sudah besar seperti sekarang ini.
Masih lagi, dalam napas yang tersendat dan semua yang dipikirnya tentang anak bungsunya itu. Dari kemarin hari rasa hatinya sudah tak enak seperti ada yang mengganjal, ia ingin ceritakan pada anaknya itu namun takut menambah beban baginya. Lalu pagi pun datang lagi,, kiranya tak ada hari ini tapi syukurlah ia masih diberi kesempatan Tuhan untuk hidup hari ini. Menjalaninya setengah hati, hari ini perasaan yang mengganjal itu masih tetap ada tapi sebagai pedagang ia tetap memancarkan wajah biasanya senyum dan ramah.
Dan sudah waktunya pulang, begitu oranye langit petang ini. Di gang rumah ia dapati bendera kuning, pikirnya ada salah satu tetangganya yang meninggal karna setahunya memang ada seorang kakek tua renta yang umurnya melebihi satu abad dan jelaslah tanah sudah menyebar bau ke tubuhnya. Tapi, bendera terakhir ada dirumahnya jadi artinya Tina. Begitu cepat Tina pergi meninggalkannya padahal sangkanya ia yang akan pergi lebih dulu daripada anaknya itu. Air matanya bercucuran kemana-kemana, namun tiba-tiba ia dapati sebuah kendi berukuran kecil dipojok bale dan berisikan kemenyan.

Tidak ada komentar: