Langkahnya sudah mulai tergopoh-gopoh,
matanya yang sipit jadi tambah sipit saat ia mesti terjaga di pagi buta begini.
Sesekali tubuhnya terhempas gelap membiarkan dirinya sendiri terayun dalam
kantuk, masih. Ringkih sudah tulang yang sekian puluh tahun berdiri tegap dan
tak gentar selalu dalam kegiatan, setiap jam. Kini di umurnya yang sudah kepala
enam, masih saja ia mesti tidur hanya empat jam sehari sedang sisanya ia pakai
untuk mencari nafkah mencari uang untuk makan.
Dan sudah dua tahun belakangan ini ia
memutuskan untuk berjualan saja ketimbang melakoni kerjaannya yang dulu menjadi
pembantu rumah tangga, rasanya sudah sulit baik bagi tubuhnya yang kisut atau
juga hatinya yang tak tahan lagi dengan segala caci maki yang ditujukan padanya
setiap hari. Selalu saja ada yang dirasa salah padahal ia sudah mengerjakan
segalanya dengan baik. Jadilah ia berjualan dan berkeliling menjajakkan
jualannnya di sekitar tempat tinggalnya. Biasanya dengan bangun dan mandi pagi
sudah bisa menghilangkan rasa sakit ditubuhnya namun hari ini rasanya lain, tubuhnya
justru tambah lemas ditambah napasnya yang akhir-akhir ini sudah lagi tidak
teratur. Tapi apakah ia mesti diam sementara darimana ia punya uang untuk
makan. Kedua anaknya tak bisa lagi diandalkan bahkan untuk memberinya uang
bulanan, pun tidak. Anaknya yang satu sudah berkeluarga dan ia pernah disuruh
pergi saja dari kontrakan lantaran tambah merepotkan rumah tangga anaknya itu,
satu tahun yang lalu sementara yang bungsu hingga umur kepala dua begitu
malasnya bekerja dan sukanya hanya tidur makan saja dirumah. Kemudian ia
paksakan,dan mulai ia mencampurkan bahan
lalu di uleni dan di bentuk satu persatu serta tak lupa memasukkan isinya yang selanjutnya
ia goreng di atas minyak panas. Dinginnya pagi tetap tak bisa dielakkan meski
dengan kepulan asap dari tungkunya, badannya tetap sedingin air sungai yang
mengalir ditambah rintikan hujan yang tak henti-hentinya mengguyur sejak dua
hari lalu, tambah dingin dirasanya.
“Nyai Combro”, begitu panggilan
akrabnya. Rasa combro buatan Nyai yang khas sudah menjadi bagian hari bagi
tetangga-tetangganya, syukurlah dagangannya selalu habis meski cuacanya yang
tidak cerah seperti hari ini. Kesederhanaan rasa yang tidak ditambah
bahan-bahan aneh layaknya para penjual diluaran menjadi faktor utama orang
ingin membelinya dan itu terlihat pula dari wajahnya yang sejuk ‘seperti
memancarkan kedamaian’, begitu kata salah seorang pelanggannya meski Nyai sudah
keriput. Sementara menunggu hujan agak reda ia berbaring di pos dekat sekolah. Tinggal
kira-kira lima belas lagi sisa combronya, dan itu sengaja disisakannya untuk
anak-anak jalanan yang ia tahu jarang sekali makan setiap harinya.
Tibalah saatnya ia pulang, terlalu lama
rasanya hari ini dijalani hingga mesti pulang setelah adzan maghrib
berkumandang. Biarpun anaknya yang bungsu itu malas mencari kerja, tapi tetap
ada sisi lain yang ia bangga pada anaknya. Pekerjaan rumah selalu dijalankan
Tina, begitu panggilan anaknya dengan rapi dan tuntas termasuk hari ini ketika
ia pulang. Anaknya itu sudah menyiapkan makanan di atas meja.
Tina memang terkadang sulit dimengerti
maunya, ia berpikir lebih baik ia diam dirumah daripada mencari kerja diluar. Pernah
Nyai menasehatinya untuk mencari kerja karena alasan Nyai tak bisa selalu
menjaganya dan menghidupinya dengan umurnya yang sudah tua ini. Namun Tina
selalu bertukas, ‘cari kerja sekarang itu susah, bu dan ibu kan tahu aku sering
sakit bila terlampau lelah dan bila aku sakit pasti sembuhnya itu lama, bu’
dengan tangis ia mengakhiri kata-katanya,selalu saja.
Biar begitu Nyai tetap saja dalam
kekhawatirannya walaupun sebenarnya ia menampakkan kepasrahan. Ia hanya takut
dengan apa atau siapa dan bagaimana Tina hidup nanti kalau ia sudah tiada. Nyai
teringat ketika Tina kecil, dulu suaminya belum meninggalkannya baru setelah
Tina berumur lima tahun ayahnya pergi begitu saja tanpa alasan dan sekarang
seperti hilang ditelan bumi. Suatu hari ia tak sengaja melihat suaminya itu
memegang kendi kecil berisikan kemenyan lalu mengepul-epulkan asapnya ke wajah
mungil Tina yang kala itu sedang tidur nyeyaknya. Ia bingung sebenarnya apa
yang diperbuat suaminya itu, namun yang ia sesalkan dari pernikahannya itu
adalah ternyata suaminya memiliki kebiasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ia
tahu ataupun suaminya katakan padanya salah satunya adalah menyimpan kemenyan
beserta sesajen-sesajen seperti halnya seorang yang punya kekuatan atau sering
dibilang dukun. Dan tiga tahun pernikahannya makinlah ia mendapati suaminya begitu
sibuk dengan kerjaan yang digelutinya itu dari mulai pulang pergi selalu
membawa daging mentah ataupula mengurung diri seharian dikamar serta uang yang
tiba-tiba datang di depan rumah yang mana jumlahnya amat banyak namun setelah
itu belum ada satu jam uangnya itu berubah jadi daun penuh ulat dan suaminya
bilang, ‘aku salah mantra’. Seluruh tetangganya bahkan sudah lebih tahu darinya
kalau ternyata suaminya memiliki ilmu hitam. Sebenarnya ia tidak begitu
mempercayai berita itu karena setahunya sebelum ia menikah,suaminya itu rajin
sekali beribadah namun entah mengapa makin lama nyata benar keanehannya dan
jadilah sampai suatu ketika suaminya pergi tanpa kabar hingga di usia
anak-anaknya yang sudah besar seperti sekarang ini.
Masih lagi, dalam napas yang tersendat
dan semua yang dipikirnya tentang anak bungsunya itu. Dari kemarin hari rasa
hatinya sudah tak enak seperti ada yang mengganjal, ia ingin ceritakan pada
anaknya itu namun takut menambah beban baginya. Lalu pagi pun datang lagi,,
kiranya tak ada hari ini tapi syukurlah ia masih diberi kesempatan Tuhan untuk
hidup hari ini. Menjalaninya setengah hati, hari ini perasaan yang mengganjal
itu masih tetap ada tapi sebagai pedagang ia tetap memancarkan wajah biasanya senyum
dan ramah.
Dan sudah waktunya pulang, begitu oranye
langit petang ini. Di gang rumah ia dapati bendera kuning, pikirnya ada salah satu
tetangganya yang meninggal karna setahunya memang ada seorang kakek tua renta
yang umurnya melebihi satu abad dan jelaslah tanah sudah menyebar bau ke
tubuhnya. Tapi, bendera terakhir ada dirumahnya jadi artinya Tina. Begitu cepat
Tina pergi meninggalkannya padahal sangkanya ia yang akan pergi lebih dulu
daripada anaknya itu. Air matanya bercucuran kemana-kemana, namun tiba-tiba ia
dapati sebuah kendi berukuran kecil dipojok bale dan berisikan kemenyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar