Kamis, 15 Oktober 2015

Curahan hati; untuk ibu


Ibuku adalah seorang wanita berumur 47 tahun, berperawakan tidak gemuk dan juga tidak kurus. Berambut pendek dan memiliki senyum yang memesona. Aku adalah ibuku ketika muda. Ibuku masih terlihat cantik bahkan ketika ia tidak bersolek di depan cermin. Tapi bukan tentang fisik ibuku yang akan aku ceritakan lebih lanjut melainkan tentang sosok ibuku yang sebenarnya. Kehidupannya, kepribadiannya.
Ibuku bersekolah hanya sampai tamat smp. Setelah itu ibuku mulai bekerja. Di umurnya yang ke-20, ibu menikah dengan seorang lelaki berperawakan gagah yang berasal dari cirebon. Aku masih ingat, ibuku sangat sangat cantik seperti bidadari saat menikah (aku melihat album fotonya). ‘ayahku beruntung benar bisa mendapatkan ibu’ pikirku.
Perjalanan rumah tangga ibu tidak berlangsung lama, mungkin sekitar 9 tahun. Itupun bisa dibilang jumlah kotornya, karena ayah dan ibu sudah jarang bertemu lagi. Aku tidak tahu pasti karena saat itu aku masih sangat kecil. Yang aku tahu, aku jarang sekali melihat ayah di rumah sementara ibu bekerja sampai larut malam jadi jarang juga ada di rumah.
Aku tidak akan membicarakan betapa kesepiannya aku dan kakakku karena waktu itu kami berdua dirawat oleh nenek. Ibu dari ibuku yang juga berwajah cantik. Tapi, nenek sudah pergi meninggalkan kami saat aku berusia 5 tahun.
Ibu dan ayah berpisah begitu saja. Tidak berdasarkan hukum ataupun ucapan dari keduanya tentang ingin berpisah. Dari awal membangun rumah tangga, ayahku sudah jarang memberi nafkah. Itu sebabnya ibu bekerja untuk menghidupi aku dan kakakku. Yang lebih pahit adalah kelakuan ayahku yang suka mengambil uang simpanan ibu tanpa sepengetahuan ibu.
Entah aku harus menangis, marah atau kecewa pada saat itu. Ayah tega sekali. Yang aku heran, tak pernah aku lihat ibu menangis atau marah kepada ayah. Atau mungkin karena aku masih kecil (?) Jadi aku belum mengerti apa-apa.
Sampai pada umurku jalan 6 tahun, ayah berdalih akan mencari kerja sebagai satpam. Lalu hingga kini tak pernah aku dengar kabar lagi darinya. Ia seperti hilang di telan bumi. Pada saat itu aku amat membenci. Aku tidak tahu apakah perasaan benci itu pantas bagi anak seumuranku. Yang jelas aku sangat tidak suka dengan ayah.
Mungkin selang beberapa bulan kepergian ayah yang katanya mencari kerja sebagai satpam, nenek menghembuskan nafas terakhirnya dan pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Kami tinggal bertiga—ibu, kakak dan aku. Aku tidak tahu ibu itu sebenranya tercipta dari apa. Ibu punya jiwa dan raga yang benar-benar kuat. Bekerja dari pagi hingga malam hari dan tak pernah aku melihat ibu mengeluh, bahkan sedikitpun. Ketika ada masalah, ibu tidak pernah menangis. Ibu hanya terus-terusan bekerja untuk menafkahi kami tanpa lupa kewajibannya juga di rumah. Sungguh sangat beruntung dan juga merasa miris aku menjadi anak ibu L
Hingga tahun berganti, ibu masih tetap jadi ibu yang dulu. Seorang wanita tangguh dan tak kenal putus asa. Ibu, sungguh betapa hebatnya engkau.
Kesedihan padamu akhirnya baru aku rasakan sejak aku beranjak remaja. Ibu mulai sering bercerita tentang cerita masa kecil ibu hingga punya anak. Dan kesimpulanku ibu tidak pernah bahagia. Terkadang aku menyesal terlahir kedunia. Menyesal karena harus membuatmu banting tulang setiap hari. Maafkan aku ibu, aku menangis di belakangmu.
Kepedihanku yang iri melihat anak-anak lain di manja oleh ayahnya bahkan sangat tak perlu dibanding dengan kepiluan yang ibu rasakan.
Aku terlalu bodoh karena menangis melihat anak seusiaku pergi ke mall di gandeng ayahnya lalu diberikan mainan baru ataupun perlengkapan sekolah. Terlalu bodoh untuk iri kepada mereka yang pulang pergi sekolah diantar-jemput ayahnya. Ibu, maafkan anakmu yang lemah ini yang tidak menuruni jiwa tangguhmu.
Dulu, sebelum aku sebesar ini aku sering merasakan keirian itu.
Dan akhirnya aku berpikir tentangmu, ibu. apa yang sebenranya aku irikan (?) padahal ibu juga sering membelikanku makanan enak serta baju-baju yang bagus. aku merasa hebat punya ibu sekaligus ayah dalam satu tubuh manusia. tidak, tidak ada yang menandingi rasa banggaku.
Semakin aku bernjak dewasa semakin aku berpikir tentangmu, ibu. Dulu, aku sering sekali makan lebih banyak daripada ibu. Bahkan porsi ibu sengaja ibu sisakan untukku. Lalu ibu makan apa (?). Aku rakus sekali >:-[
Dan ibu selalu membelikan aku juga kakak baju yang bagus tapi, ibu sendiri tidak pernah berli baju. Itu-itu saja pakaian ibu yang aku lihat ketika kami pergi keluar. Ibu kok sperti itu :[
Bahkan mungkin sampai aku dewasa seperti sekarang, ibu masih juga seperti itu. Aku tidak akan pernah bisa menjadi wanita hebat sepertimu ibu, tidak pernah.
Ya tuhan.. Dengan cara apa aku bisa membahagiakan ibu (?)